Sebetulnya, memupuk mental kaya ini bukanlah hal yang mudah, perlu dasar dan alasan yang mengakar kuat didalam diri. Tanpa dasar dan alasan yang kokoh, maka seseorang mungkin tidak tertarik untuk mempunyai mental kaya. Mereka menganggap Mental Kaya ini tidak penting. Toh, itu kan sebatas mental? Apa hubungannya mental dengan kekayaan? Kalau saya boleh berpendapat, sebenarnya mental kaya ini LEBIH PENTING daripada kekayaan itu sendiri.
Dalam agama Islam sudah jelas-jelas dijelaskan, dan seolah-olah menyemangati umat islam untuk mempunyai mental kaya. Apa referensinya? Baik. Mungkin kita sudah lupa dengan anjuran agama yang mengatakan bahwa “tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.” Terlepas dari semua pemaknaan yang bervariasi atas anjuran tersebut, bagi saya justru anjuran tersebut merupakan signal untuk kita agar memupuk dan mempunyai mental kaya (tangan diatas).
Jika signal diatas tidak direspon secara cerdas, maka mental miskinlah yang terjadi dimana-mana. Kita pun bisa melihat disekeliling kita, bagaimana begitu banyaknya saudara-saudara kita yang muslim belum begitu tertarik untuk mempunyai mental kaya alias mereka masih saja mem-pola-kan pikiran, tutur kata, pola hidup layaknya sebagai orang yang miskin, padahal tidak! Mereka tidak miskin beneran, mereka hanya miskin mental atau Mental Miskin.
Bagaimana itu bisa terjadi? Lihatlah, mengapa peminta-minta masih saja ‘berkeliaran’ disetiap sudut-sudut kota? Mengapa banyak yang masih mengharapkan 'subsidi' daripada pemberdayaan ekonomi? Mengapa masih banyak yang mengharapkan untuk mendapatkan raskin (beras miskin) yang padahal mereka tidak miskin beneran? Dan mengapa masih banyak sekali 'produksi' surat-surat miskin dilevel desa untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai konsumtif? Sederhana sekali jawabannya, inilah konsekuensi jika kita bermental miskin.
Sekarang coba kita ‘telusuri’ apa untungnya (konsekuensi) jika kita mempunyai Mental Kaya. Kita juga mencoba mengaitkan dari kasus diatas. Jika kita bermental kaya, maka kita akan malu menjadi peminta-minta (pengemis)! Kenapa? Tentu saja, karena kita ingin menjadi tangan diatas bukan tangan dibawah. Jika semua umat muslim berfikir dan beperilaku seperti ini, Insya Allah jumlah pengemis disetiap kota di Indonesia bisa dikurangi.
Selanjutnya, jika kita mempunyai mental kaya, apa yang akan kita pilih? Menerima subsidi/bantuan sosial atau lebih tertarik untuk mengikuti pemberdayaan ekonomi? Yupzz, tentu saja kita akan lebih menyukai untuk mengikuti pemberdayaan ekonomi, bukan terus-terusan mengharapkan subsidi, bantuan sosial (bansos) atau bentuk pemberian ‘gratis’ lainnya. Ingat! Dikasih kita terima, gak dikasih gak usah minta.
Hambatan pastilah selalu muncul, tapi mental kaya dapat mematahkan hambatan demi hambatan. Mental kaya itu mengayakan! (Ippho Santosa)
Menurut Dr.M. Syafii Antonio,inilah yang disebut usaha mempertahakan bargaining position ummat. Apa itu bargaining position? Simplenya, bargaining position itu usaha mempertahankan harga diri umat. Supaya bangsa-bangsa lain segan dan menaruh perhitungan kepada ummat islam, tidak berperilaku seenaknya saja.
Tuh liat! Mental Kaya juga bisa membuat bangsa-bangsa lain segan sama orang Islam. Go muslim, go, go! Hehe..
Kemudian, ini kaitannya dengan beras miskin atau yang lebih populer dengan raskin.Upss, raskin itu untuk orang miskin. Masih sering nerima raskin? Bismillah deh, tolak saja, kasih aja ke yang lain, atau balikin lagi sama yang anterin raskinnya kerumah kamu. Bilang sama dia, ‘Bang, keluarga kami ini bukan keluarga miskin.’ Berani ngomong gitu? Kalau berani hebat! Ini yang namanya Mental Kaya.
Dan yang terakhir tentang kasus 'aneh' yang masih saja diproduksinya surat-surat miskin untuk mendapatkan beasiswa disekolah/kampus? Salah emang? Ya salah! Mungkin cuma di Indonesia yang ada istilah 'Beasiswa Kurang Mampu,' kayaknya diluar negeri sana gak ada istilah ‘Beasiswa kurang mampu,’ paling banter mereka nyebutnya Beasiswa Untuk Siswa/Mahasiswa (i) beprestasi. Tuh, kalau salah sebut, bisa salah makna. Beasiswa kurang mampu itu untuk anak miskin, beasiswa beprestasi itu untuk anak beprestasi. Sayangnya, masyarakat kita lebih suka dengan Beasiswa Kurang Mampu, padahal itu sama dengan MEMBENARKAN BAHWA DIRI DAN KELUARGANYA BERASAL DARI KELUARGA TIDAK MAMPU. Ini bahaya sekali, sugestinya negatif!
Mental kaya lebih penting daripada kekayaan itu sendiri. Dengan adanya mental kaya, cepat atau lambat, akan mengundang kekayaan - @ipphoright
Secara gak sadar kita membalutkan lebel miskin (tidak mampu) untuk keluarga kita. Kalau udah gini, gimana bisa punya semangat untuk kaya? Kayaknya susah, mungkin sampe meninggal juga kayak gitu terus. Sorri, bagi saya takdir itu bisa diubah atau diteruskan. Dan saya memilih untuk merubah takdir bukan meneruskannya. Bingung? Merubah takdir adalah usaha merubah keadaan, meneruskan takdir adalah pasrah dengan keadaan dan tidak punya kemauan untuk merubahnya. Terserah kalian aja! Mau ngubah takdir atau meneruskannya? Pilih mana? Hehe..
Yang paling menarik bagi saya adalah mental kaya ini adalah SYARAT MUTLAK untuk menjadi kaya beneran. Kalau tidak, akan sangat susah untuk menjadi kaya, nanti ada mental block-lah, salah memahami arti tawakkal-lah, inilah, itulah, ehh.. akhirnya mati dalam keadaan miskin dan tidak meninggalkan apapun untuk keluarga, kecuali ninggalin hutangnya doang. Hehe.
Lho? Gimana dengan teman-teman saya yang kaya? Saya gak ngeliat dia punya mental kaya? Hah?? Iyalah, yang kaya kan bapaknya, bukan temanmu itu. Kalau mau belajar Mental Kaya, belajar sama bapaknya, bukan dengan dia, temanmu itu masih belum ngerti apa-apa, taunya uang jajan aja. Hehe.
sekian, ,semoga dapat menjadi pencerahan.